23 September 2010

HIJRAH


Nabi Muhammad tidak mudah menyerah. Beliau juga tidak ceroboh. Keyakinannya pada Allah tak terbatas, tapi hal itu tidak pernah membuatnya pasrah mengikuti arus peristiwa. Wahyu mengingatkan bahwa beliau harus selalu mengatakan insyâ Allâh (jika Allah mengizinkan) ketika merencanakan sesuatu, dan bahwa ingat kepada Tuhan harus dikaitkan dengan kerendahan hati (terutama dalam menyangkut kemampuan diri sebagai manusia). Namun, hal ini sama sekali tidak berarti bahwa beliau tidak perlu memikul tanggung jawab atau melakukan perhitungan dalam menentukan berbagai pilihan di dunia ini. Oleh karena itu,
Muhammad menyusun rencana migrasi ke Madinah selama hampir dua tahun. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Hanya setelah mengerahkan segala kekuatan manusiawinya secara cerdas dan menyeluruh, Nabi baru berserah kepada Tuhan.

Itulah makna al-tawakkul ‘ala Allâh (bertawakal kepada Allah, bersandar dan memercayakan diri kita kepada-Nya): menggunakan secara bertanggung jawab semua kualitas diri (kecerdasan, spiritualitas, jiwa, emosi, dan sebagainya) yang telah dianugerahkan kepada kita dan dengan rendah hati selalu ingat bahwa di luar semua kemungkinan dalam perhitungan manusia, hanya Tuhan sendiri yang menentukan segalanya. Sungguh, ajaran ini merupakan kebalikan dari fatalisme: Tuhan akan memberi pertolongan jika manusia terlebih dahulu mengusahakannya, sesuai dengan kemampuannya, dengan menggunakan dan memaksimalkan semua potensinya. Itulah makna sejati ayat: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Bersama Abu Bakr.
Agar tidak menarik perhatian, Muhammad dan Abu Bakr meninggalkan Mekah pada malam hari dan berjalan menuju Yaman. Abu Bakr memberi Muhammad seekor unta bernama Qaswa; Nabi bersikeras membayarnya, karena beliau ingin menanggung biaya migrasinya sendiri, dan beliau tidak ingin berhutang ketika berangkat menuju Yatsrib. Nabi juga menolak pemberian sebidang tanah dari dua orang yatim ketika beliau tiba di kota yang sejak itu dikenal dengan berbagai sebutan, seperti al-Madînah (yang berarti “kota”), Madînah al-Rasûl (kota sang utusan), atau al-Madînah al-Munawwarah (kota yang bersinar).
Setelah berjalan ke selatan, mereka bersembunyi selama beberapa hari di dalam Gua Tsawr (ghâr Tsawr). Anak Abu Bakr, Abdullah, bertugas memata-matai gerakan orang Quraisy dan menyampaikannya kepada ayahnya dan Muhammad. Sedangkan putri-putrinya, Asma dan Aisyah, menyiapkan makanan dan membawanya diam-diam ke gua pada malam hari. Jadi, Abu Bakr menggerakkan semua anaknya, perempuan dan laki-laki, untuk melindungi Nabi dan dirinya selama pelarian mereka, meskipun hal itu sangat berbahaya terutama bagi anak perempuannya. Ia memberikan perlakuan yang sama terhadap anak laki-laki dan anak perempuannya, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi.
Sekalipun telah menyusun rencana dan persiapan yang matang, sekelompok orang Quraisy yang membaca strategi mereka pergi ke arah selatan untuk mencari Nabi. Mereka tiba di depan gua dan hendak memasukinya. Dari tempat persembunyiannya, Abu Bakr bisa melihat mereka. Dirambati rasa cemas, ia berkata kepada Nabi bahwa sekiranya orang-orang itu menengok ke bawah, mereka pasti dapat melihat keduanya. Muhammad menenangkannya dan berbisik: Jangan takut, Tuhan bersama kita.  Kemudian beliau menambahkan, “Bagaimana menurutmu jika ada dua orang dan yang ketiganya adalah Tuhan?”  Kata-kata tersebut menenteramkan Abu Bakr. Di depan gua, orang-orang itu melihat jaring laba-laba menutupi mulut gua, dan juga terdapat seekor merpati yang bersarang di sana: tampak jelas bahwa Muhammad tidak mungkin bersembunyi dalam gua itu, dan mereka memutuskan untuk mencarinya di tempat lain.

Sekali lagi, meskipun telah menyusun strategi pelarian secara saksama, Nabi dan sahabatnya tetap harus melewati cobaan. Hidup mereka terselamatkan tidak lain oleh jaring laba-laba yang rapuh; dengan demikian, sikap berserah diri pada Tuhan (al-tawakkul ‘ala Allâh), sebagaimana dituturkan Nabi kepada Abu Bakr saat itu, digambarkan dalam maknanya yang paling dalam. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan untuk menyelamatkan Rasul-Nya. Ketika berhijrah, Muhammad tidak ingin berhutang pada orang lain (beliau menolak pemberian, menyelesaikan hutangnya, dan mengembalikan semua simpanan). Tapi, Nabi juga tahu bahwa dirinya berhutang segala hal pada Yang Maha Esa, bahwa hutang dan kewajibannya kepada-Nya tak terhingga. Hijrah pada dasarnya mengungkap ajaran penting yang terselip dalam pengalaman Nabi: sikap berserah diri pada Tuhan yang menuntut keterlepasan dari ketergantungan terhadap manusia tanpa kesombongan dan juga pengakuan yang tulus akan ketergantungan mutlak kepada Tuhan.

Abu Bakr meminta jasa seorang Badui nonmuslim, Abdullah ibn Urayqat, untuk memandu mereka menuju Yatsrib melalui rute yang tidak biasa dan tidak mudah terlacak. Pada hari yang telah ditetapkan, Ibn Urayqat datang menemui mereka di gua dengan membawa unta, dan mereka pergi ke arah barat, lalu ke selatan, sebelum akhirnya ke arah utara menuju Yatsrib. Itu sebuah perjalanan penuh bahaya. Sekiranya orang-orang Quraisy berhasil menyusul ketiga orang itu, mereka pasti akan membunuh semuanya untuk mengakhiri aktivitas subversif Muhammad. Nabi dan sahabatnya telah bertawakal pada Tuhan, tapi mereka tidak ragu untuk meminta bantuan dari seorang Badui yang, meskipun menganut keyakinan politeis yang sama dengan musuh mereka, dikenal keterpercayaannya (perkataannya bisa dipegang) dan keahliannya sebagai pemandu (ia tahu lebih banyak daripada orang lain tentang jalan berbukit dan jalur-jalur khusus yang mereka ambil). Lagi-lagi, sikap semacam itu terlihat dalam seluruh kehidupan Nabi: semua laki-laki dan perempuan yang bergaul dengannya mungkin tidak memiliki keyakinan yang sama dengannya, tapi mereka dikenal memiliki kualitas moral dan/atau kualitas kemanusiaan yang mulia. Muhammad, seperti halnya para sahabatnya, tidak ragu-ragu untuk menaruh kepercayaan kepada mereka.

Masjid

Perjalanan ke Quba berlangsung dua puluh hari. Nabi dan Abu Bakr akhirnya tiba di Quba, sebuah desa kecil di luar kota Yatsrib. Orang-orang telah menantikan mereka dan memberikan sambutan yang hangat. Mereka menetap selama tiga hari di desa tersebut dan mulai membangun sebuah masjid di sana, masjid pertama semasa Hijrah.  Nabi melakukan hal yang sama dalam tiga tahap perjalanannya menuju Yatsrib. Ketika meninggalkan Quba, Nabi berangkat menuju Yatsrib dan berhenti pada siang hari, saat waktu salat tiba, di lembah Ranuna, tempat beliau menunaikan salat Jumat pertama dengan para sahabatnya: di sana Nabi juga memulai pembangunan sebuah masjid. Beliau kemudian pergi ke pusat kota. Banyak orang berusaha menghentikannya dan mengajaknya tinggal bersama mereka. Beliau meminta mereka membiarkan Qaswa, untanya, untuk berjalan tanpa hambatan, karena ia sendiri yang akan menunjukkan lokasi tempat tinggalnya. Unta itu berjalan melintasi kerumunan orang, sebelum akhirnya berhenti dekat sebidang tanah milik dua anak yatim. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Nabi membayar harga sebidang tanah itu kepada mereka. Di lokasi inilah pembangunan tempat tinggalnya dan juga sebuah masjid segera dimulai.

Dengan membangun ketiga masjid tersebut, Nabi menunjukkan signifikansi dan sentralitas masjid dalam hubungannya dengan Tuhan, ruang, dan masyarakat. Pembangunan masjid (yang secara literal berarti tempat bersujud) menandai sebuah ruang suci khusus di tengah kesakralan alam secara keseluruhan; seperti yang dikatakan Nabi, “Seluruh permukaan bumi adalah masjid.”  Ketika berdiri, masjid bukan saja menjadi ruang poros bagi kaum muslim di sekitarnya, tapi juga menggambarkan realitas kehidupan menetap (bukan nomad–pen.), penerimaan terhadap ruang tempat tinggal, yang kemudian diubah menjadi ruang bagi seseorang, yaitu tempat kediaman. Sungguh, kehadiran masjid menunjukkan bahwa sebuah tempat telah diubah menjadi tempat kediaman, dan bahwa kesadaran keimanan telah “menempati rumahnya” karena tempat ibadah telah dibangun. Tindakan Muhammad yang berulang itu juga merupakan sebuah pelajaran: apa pun bentuk pengasingan atau perjalanan, apa pun bentuk gerakan atau keberangkatan, kita tidak boleh kehilangan arah dan makna. Masjid-masjid itu menunjukkan makna, arah, dan hidup menetap. Yatsrib akhirnya menjadi Madinah.

Pengasingan: Makna dan Pelajaran

Nabi dan para sahabat harus meninggalkan Mekah untuk menghindari penganiayaan dan permusuhan dari saudara-saudara mereka sendiri. Mereka menghadapi situasi yang tidak tertahankan: laki-laki dan perempuan menemui ajal, yang lainnya mengalami siksaan, dan orang Quraisy akhirnya memutuskan untuk melenyapkan Muhammad. Migrasi ini pada dasarnya merupakan realitas yang harus dihadapi oleh orang beriman yang tidak memiliki kebebasan untuk mempraktikkan keyakinan mereka dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara baik demi keyakinan mereka. Karena “bumi Tuhan sangat luas”, seperti yang dinyatakan dalam Alquran, mereka memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka, memutuskan diri dari semesta dan kebiasaan mereka, dan menjalani pengasingan, semuanya semata demi keyakinan mereka.  Wahyu turun untuk memuji keberanian dan keteguhan orang-orang beriman yang telah menunjukkan kepercayaan mereka kepada Tuhan dengan mengambil langkah sulit dan berisiko itu:
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, yaitu orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakal.
Dengan demikian, pengasingan merupakan bentuk lain dari ujian keimanan. Semua nabi telah mengalami ujian semacam ini, juga semua orang beriman setelah mereka. Sejauh mana mereka sanggup melaksanakannya, sejauh mana mereka siap menyerahkan jiwa raganya untuk Yang Maha Esa, kebenaran, dan cinta-Nya? Semua itu adalah pertanyaan abadi keimanan, yang mengiringi setiap pengalaman temporal dan historis dalam kesadaran orang beriman. Hijrah merupakan salah satu jawaban masyarakat muslim pada masa-masa awal kehadiran mereka.

Artinya, pengasingan juga menuntut kaum muslim awal agar selalu belajar untuk tetap setia terhadap makna ajaran Islam di tengah perubahan tempat, budaya, dan memori. Madinah berarti budaya baru, jenis hubungan sosial baru, peran yang seluruhnya baru bagi perempuan (yang secara sosial jauh lebih terlibat daripada di Mekah), dan ikatan antarsuku yang lebih kompleks, juga keberadaan komunitas Yahudi dan Kristen yang sangat terasa, yang merupakan sesuatu yang baru bagi orang-orang Islam. Masyarakat Islam, yang selalu meneladani Nabi, sejak awal harus membedakan antara hal-hal yang berasal dari prinsip-prinsip Islam dan hal-hal yang secara khusus terkait dengan budaya Mekah. Mereka harus berpegang teguh pada hal-hal pertama sambil berusaha menggunakan pendekatan yang fleksibel dan kritis terhadap warisan budaya mereka. Mereka bahkan harus berusaha mengubah beberapa perilaku mereka yang lebih bersifat kultural. Umar ibn al-Khaththab harus belajar menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Misalnya, setelah Umar menghardik istrinya yang telah membantahnya (sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Mekah), sang istri menjawab bahwa ia harus membiasakan diri dengan hal tersebut dan menerimanya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi. Ini sebuah pengalaman berat bagi Umar, juga bagi orang lain, yang mungkin sempat berpikir bahwa kebiasaan dan budaya mereka adalah islami: hijrah menunjukkan kepada mereka bahwa anggapan tersebut keliru, dan bahwa kita harus mempertanyakan setiap praktik budaya, agar kita tetap setia terhadap prinsip-prinsip Islam dan mau membuka diri untuk menerima budaya lain dan mengambil manfaat dari keragaman budaya tersebut.

Misalnya, setelah mengetahui bahwa sebuah pernikahan akan diselenggarakan di tengah-tengah orang Islam Madinah (kaum Anshar), Nabi segera mengirimkan dua orang penyanyi, karena, menurutnya, orang-orang Anshar senang bernyanyi.  Jadi, beliau tidak hanya mengakui ciri khas atau citarasa budaya yang tidak bertentangan dengan Islam, tapi juga mengadopsinya untuk memperkaya pengalaman manusia. Hijrah juga merupakan ujian bagi intelejensi manusia yang menuntut keharusan untuk membedakan prinsip-prinsip Islam dengan manifestasi kulturalnya; lebih jauh lagi, ia juga menyiratkan keterbukaan dan penyambutan atas kebiasaan-kebiasaan baru, cara baru dalam bertindak dan berpikir, dan citarasa baru. Jadi, keuniversalan prinsip-prinsip tersebut berpadu dengan kebutuhan untuk mengakui keragaman cara hidup dan budaya. Pengasingan merupakan sebuah pengalaman yang paling jelas dan mendalam tentang semua itu, karena ia menyiratkan ketercerabutan diri dengan tetap beriman kepada Tuhan yang sama, kepada makna yang sama, dalam lingkungan yang berbeda.

Hijrah juga merupakan pengalaman tentang pembebasan, baik secara historis maupun spiritual. Musa telah membebaskan kaumnya dari penindasan Firaun dan menuntunnya menuju keimanan dan kebebasan. Hakikat hijrah juga mirip dengan itu: teraniaya karena keyakinan mereka, orang beriman memutuskan untuk meninggalkan para penyiksa mereka dan berbaris menuju kebebasan. Dengan demikian, mereka menekankan bahwa mereka tidak bisa menerima penindasan, bahwa mereka tidak dapat menerima status sebagai korban, dan bahwa pada dasarnya persoalannya cukup sederhana: mengumandangkan nama Tuhan secara terbuka berarti terbebas dan juga membebaskan. Pesan serupa telah disampaikan oleh Nabi, lalu oleh Abu Bakr, kepada semua budak di Mekah: masuk Islam bagi mereka berarti kebebasan, dan semua ajaran Islam mengarah pada penghentian perbudakan. Sejak itu, seruan yang lebih luas dialamatkan kepada kaum muslim secara keseluruhan: keimanan menuntut kebebasan dan keadilan dan kita harus siap, seperti yang ditunjukkan dalam kasus Hijrah, untuk membayarnya secara individual dan kelompok.

Dimensi spiritual ajaran tersebut serasa dekat; ia benar-benar menjiwainya dan memberinya makna. Sejak awal pewahyuan, Muhammad diajak untuk mengasingkan diri dari para penganiaya dan dari kejahatan: Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.  Lalu: Dan perbuatan dosa, tinggalkanlah.

Ibrahim, yang keponakannya, Luth, merupakan salah satu dari sedikit orang yang mau beriman dan mengakui kenabiannya, bersikap sama ketika ia mengajak kaumnya dengan menyeru sebagai berikut:
Dan berkata Ibrahim, “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian yang lain; dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong seorangpun.” Maka Luth membenarkannya. Dan berkatalah Ibrahim, “Sesungguhnya aku akan perpindah ke [tempat yang diperintahkan] Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasaa lagi Maha Bijaksana.”

Hijrah merupakan pengasingan kesadaran dan hati manusia dari tuhan-tuhan palsu, dari keterasingan terhadap segala sesuatu, dari kejahatan dan dosa. Memalingkan diri dari berhala zaman (kekuasaan, uang, kultus diri, dan sebagainya); berhijrah dari dusta dan cara hidup yang tidak bermoral; membebaskan diri, melalui pengalaman keterpisahan, dari semua bentuk kebebasan yang secara paradoks diperkuat oleh kebiasaan kita—hal semacam itu merupakan syarat spiritual hijrah. Belakangan, ketika ditanya oleh seorang sahabatnya tentang hijrah yang paling baik, Nabi menjawab, “Ia adalah mengasingkan diri [menjauh] dari kejahatan [dosa, kebohongan, dusta].”  Pentingnya pengasingan spiritual diulang dalam berbagai bentuk yang berbeda.

Dengan demikian, seorang muslim yang melakukan hijrah, bermigrasi dari Mekah ke Madinah, berarti telah mempraktikkan dimensi ajaran Islam yang bersiklus, karena mereka telah mencapai sebuah proses kedatangan kembali ke diri mereka semula, sebuah migrasi hati. Perjalanan fisik mereka menuju Madinah merupakan pengasingan spiritual menuju diri terdalam; dengan meninggalkan kota dan tempat kelahiran mereka, mereka kembali ke diri mereka sendiri, menuju keintiman dengan Tuhan, menuju makna hidup mereka di luar realitas sejarah.

Hijrah yang bersifat fisik, suatu tindakan yang membentuk masyarakat muslim paling awal dan poros pengalaman mereka, kini telah usai dan tidak akan terulang lagi, seperti yang dijelaskan oleh Aisyah kepada orang-orang di Madinah yang hendak menghidupkan kembali pengalaman tersebut. Umar ibn al-Khaththab kemudian menetapkan bahwa peristiwa unik ini menandai awal zaman Islam, yang dimulai tahun 622. Yang tersisa dan terbuka bagi semua orang di sepanjang masa dan untuk selamanya adalah pengalaman pengasingan spiritual yang membawa kembali setiap individu menuju diri mereka sendiri dan membebaskannya dari ilusi diri dan dunia. Pengasingan demi Tuhan pada hakikatnya adalah serangkaian pertanyaan yang diajukan Tuhan kepada setiap individu: Siapa dirimu? Apa makna hidupmu? Kemana engkau pergi? Yang menerima risiko dari bentuk pengasingan semacam itu, meyakini Yang Maha Esa, menjawab: Melalui-Mu aku kembali ke diriku sendiri, dan aku terbebas.

Kehidupan Menetap dan Perjanjian
Kata-kata pertama Nabi saat tiba di Quba menjelaskan kepada orang Islam tentang tanggung jawab mereka yang paling mendasar: “Tebarkan kedamaian [salâm], beri makan orang yang kelaparan, hormati hubungan kekeluargaan, salatlah saat orang tertidur lelap, maka engkau akan memasuki surga dengan kedamaian [bi-al-salâm].”  Dua rujukan tentang kedamaian ini, di awal dan di akhir kata-katanya, menunjukkan betapa Nabi ingin agar para sahabatnya memahami kehidupan menetap di kota baru mereka. Menyantuni orang miskin dan menghormati tali kekerabatan mengingatkan kita akan prinsip moral keberadaan seorang muslim, di mana setiap muslim harus bersumpah untuk menghormatinya. Salat malam—“saat orang tertidur lelap”—merupakan sebuah pengasingan spiritual yang disebutkan sebelumnya, dengan begitu ia menguatkan dan menenteramkan hati sehingga memungkinkannya melaksanakan tuntutan untuk menghormati moralitas dan menyebarkan kedamaian. Proses mencari kedamaian jiwa ini (dalam kesendirian, namun dengan cahaya kehangatan cinta keluarga) merupakan jalan yang harus ditempuh seorang muslim agar dapat menyebarkan kedamaian di dunia dan menyantuni orang miskin.

Ajaran tersebut tampak nyata dalam seluruh kehidupan Nabi, termasuk dalam setiap tahap kehidupannya di Madinah. Setiba di Madinah, beliau segera menggenggam kekuasaan simbolis dan politis yang tidak bisa diabaikan oleh para pemuka masyarakat kota. Banyak penduduk Yatsrib yang masuk Islam dan mengakuinya sebagai Rasul Tuhan; mereka berasal dari suku Aws dan Khazraj yang saling berperang selama bertahun-tahun. Seperti halnya di Mekah, pesan Islam cukup kuat untuk mengatasi berbagai perselisihan dan menyatukan laki-laki dan perempuan dari klan, kelas sosial, dan asal-usul yang berbeda. Kehadirannya kerap dipandang sebagai ancaman oleh mereka yang menikmati kekuasaan sebelum Nabi datang. Suku-suku Yahudi dan Kristen, yang telah lama menetap di wilayah tersebut, hanya melihat dan menunggu, karena mereka berada pada posisi antara mengakui kesamaan pesan tauhid Islam dan mempertanyakan maksud Nabi baru ini, yang tentu saja tidak mereka akui sebagai nabi (para pemimpin Yahudi telah menyatakan secara tegas tentang hal ini bahkan sebelum Nabi tiba di Yatsrib). Muhammad tentu saja memahami kompleksitas situasi dan taruhan agama, sosial, dan politik dari kehadirannya di Madinah.

Beliau segera menyusun perjanjian saling membantu antara orang-orang Islam dan Yahudi yang tinggal di sekitar mata air.  Butir-butir kesepakatan itu pada dasarnya dilandasi semangat untuk mengakui keragaman agama dan tidak menuntut sebuah peralihan agama. Prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesamaan derajat di antara semua penandatangan (baik Yahudi atau muslim, penduduk asli Madinah atau imigran dari Mekah, suku Aws atau Khazraj) disebutkan di dalam perjanjian ini. Merujuk pada orang-orang Yahudi, teks perjanjian itu menyebutkan: “Mereka memiliki hak yang sama dan kewajiban yang sama seperti kita” (lahum mâ lanâ wa ‘alayhim mâ ‘alaynâ), yang secara tersirat berarti bahwa mereka sepenuhnya dan secara setara termasuk ke dalam masyarakat lokal (ummah).  Perjanjian itu menyebutkan bahwa hak-hak setiap orang akan dibela oleh semua pihak, dan jika terjadi konflik dengan orang musyrik, mereka semua harus saling membantu dan tidak boleh membentuk aliansi atau perjanjian terpisah.  Pengakuan Nabi terhadap nilai penting hubungan berbasis kontrak yang beliau susun dalam sinaran wahyu ini terlihat nyata dalam seluruh kehidupan dan ajarannya. Sebuah kontrak menentukan sebuah kerangka; ia menegaskan otonomi dan pengakuan atas semua pihak yang terlibat (selama esensinya tetap dihormati) dan memungkinkan, secara a posteriori, untuk membentuk sarana regulasi dan evaluasi. Kontrak (al-‘ahd) menempati posisi sentral dalam Islam, mulai dari kontrak pernikahan hingga kontrak sosial atau komersial, termasuk kontrak yang dibuat untuk menyelesaikan konflik dan peperangan.  Wahyu menjelaskan pentingnya kontrak dan perlunya menaati butir-butir kesepakatan: Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.  Mengenai hal ini, Nabi bersabda, “Orang Islam harus bertindak atas dasar butir kesepakatan kontrak mereka.”

Dengan Orang Yahudi
Wahyu, butir-butir perjanjian, dan sikap Nabi terhadap orang Yahudi sejak beliau tiba di Madinah merupakan faktor yang menentukan kerangka umum hubungan antara orang-orang beriman dari kedua agama. Pertama-tama, terdapat kesamaan hubungan: Tuhan yang sama telah mengutus Musa dan Muhammad. Orang Yahudi, bersama orang Kristen, adalah “pemilik Kitab” (ahl al-kitâb), orang yang menerima pesan wahyu dari Tuhan. Alquran dengan jelas menyebutkan pengakuan atas status mereka itu: Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al-Kitab kepadamu dengan sebenarnya, yang membenarkan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelumnya, sebagai petunjuk bagi manusia.
Ketika menetap di Madinah, Nabi tidak mengharuskan seseorang untuk masuk Islam. Beliau menginginkan hubungan sosial dalam masyarakat baru ini bersifat egaliter. Belakangan, ketika konflik muncul dan aliansi terpecah, situasi menjadi tidak kondusif dan hubungan dengan suku-suku Yahudi kian memburuk. Meski demikian, perkembangan tersebut sama sekali tidak memengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi hubungan antara orang Islam dan Yahudi: saling memahami dan menghormati, dan juga perlakuan yang adil di depan hukum atau dalam penyelesaian perselisihan di antara berbagai individu dan/atau kelompok.

Misalnya, beberapa tahun kemudian, ketika orang Islam berseteru dengan suku Yahudi yang dicurigai telah berkhianat, seorang muslim beranggapan bahwa ia bisa lolos dari tanggung jawabnya dalam kasus pencurian dengan cara menyalahkan seorang Yahudi. Wahyu delapan ayat mengkritik pengkhianatan besar yang dilakukan oleh seorang muslim yang menjadi pelaku kejahatan, dan mengungkapkan ketidakberdosaan seorang Yahudi.  Kesalahan seorang muslim disebutkan secara eksplisit: Dan barang siapa mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.
Konflik apa pun yang terjadi dengan kelompok lain, prinsip-prinsip universal, seperti penghormatan dan keadilan tetap berlaku dan melampaui berbagai realitas sejarah, yang menuntut kesadaran orang Islam untuk tidak menuruti nafsu dan kebencian yang membutakan hati. Alquran menyatakan bahwa setiap kebencian yang muncul tanpa dikehendaki dalam sebuah peperangan tidak boleh menghalangi pemberlakuan prinsip-prinsip tersebut yang harus tetap ditaati oleh orang beriman.

Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah; menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  

 Muhammad selalu membedakan antara situasi dan orang yang terlibat di dalamnya, dan beliau memperlihatkan penghormatan yang dalam terhadap individu dan keyakinannya. Selama bertahun-tahun, seorang pemuda Yahudi menjadi sahabatnya dan mengikutinya ke mana pun Nabi pergi karena ia senang mendampingi beliau. Nabi tidak pernah memintanya untuk meninggalkan keyakinannya. Suatu ketika, pemuda itu sakit keras, dan menjelang kematiannya ia meminta ayahnya agar mengizinkannya masuk Islam, tapi selama mendampingi Nabi, ia tetap memegang keyakinan lamanya dan merasakan cinta dan penghormatan Nabi.

Belakangan, ketika Nabi sedang bersama sekelompok orang Islam, sebuah prosesi penguburan jenazah melintas, dan Nabi segera berdiri untuk menghormati mendiang. Orang-orang Islam terkejut dan memberi tahu Nabi bahwa itu adalah prosesi pemakaman seorang Yahudi. Nabi menjawab dengan tegas dan penuh wibawa, “Bukankah ia juga manusia?” Ajaran tersebut tetap sama, meskipun sedang dirundung kesulitan, pengkhianatan, dan peperangan: tidak ada seorang pun yang dipaksa masuk Islam, perbedaan dihormati, dan semua orang diperlakukan secara setara. Inilah pesan kunci wahyu Tuhan dan inti tindakan Rasul; semua ayat-ayat terakhir dalam Alquran yang merujuk konflik, pembunuhan, dan perang harus dibaca dalam konteks pewahyuannya (orang-orang Islam yang sedang menghadapi situasi perang dan harus mempertahankan diri) dan sama sekali tidak menghilangkan kandungan penting dalam keseluruhan pesan itu.

Kaum Munafik
Meskipun telah dibuat perjanjian, meskipun telah ada upaya Muhammad untuk menyatukan berbagai suku dan pemimpin agama yang berbeda, situasi di Madinah jauh dari sederhana. Ia harus menangani kecemburuan, keserakahan, dan pertarungan kekuasaan, serta frustrasi berbagai pihak. Muhammad dihadapkan pada berbagai perilaku yang tidak beliau temukan di Mekah, di mana perpindahan agama menuntut pengorbanan yang sedemikian besar sehingga keimanan hanya dapat muncul dari hati yang tulus dan penuh keyakinan. Dengan demikian, sejak itu segalanya serba berbeda. Tatanan sosial Madinah yang berubah, pusat kekuasaan yang berbeda, dan peran utama Nabi—yang memiliki pengaruh besar atas keyakinan hati dan urusan publik—sepenuhnya telah mengubah situasi: beberapa orang melihat kesempatan untuk memperoleh kekuasaan (atau kepentingan quasi-politis) lewat pengakuan keislaman mereka secara terbuka. Dalam surah pertama yang turun di Madinah, Alquran menyebutkan kemunculan kaum hipokrit, “munâfiqûn”, yang merupakan masalah terbesar karena mereka menyerang komunitas muslim dari dalam.  Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya, empat ayat pertama dalam surah al-Baqarah (Sapi) berbicara tentang orang yang tulus beriman, dan hanya dua tentang orang kafir, tapi ada tiga belas ayat panjang yang menjelaskan sikap dan pernyataan kaum hipokrit yang sarat dengan dusta dan pengkhianatan.

Dan di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.

Kemudian lebih jauh lagi:
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kaim sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”

Bahaya tersebut sungguh nyata dan bersifat permanen. Beberapa orang hipokrit mengobarkan perselisihan klasik di antara suku Aws dan Khazraj, dan salah satu upaya tersebut hampir saja berhasil jika salah seorang dari kedua pihak itu, pada saat yang tepat, tidak mengingatkan mereka tentang keluhuran persaudaraan mereka dalam Islam. Salah seorang anggota suku Khazraj, Abdullah ibn Ubayy, beralih kepada Islam. Tapi bagi banyak orang, ia dianggap sebagai pembuat masalah dan sosok khas orang munafik seperti yang dilukiskan dalam Alquran. Abu Amir, dari suku Aws, juga dipandang sebagai orang munafik karena sering menebar benih perpecahan. Tidak ada tindakan khusus terhadap mereka, namun orang Islam mewaspadai mereka dan berhati-hati agar tidak terjebak ke dalam perangkap yang dapat menyulut perpecahan di tubuh umat Islam.

Pakta Persaudaraan
Untuk memperkuat ikatan antara orang Islam, dan khususnya antara mereka yang berasal dari Madinah (Anshâr) dengan mereka yang bermigrasi dari Mekah (Muhâjirûn), Nabi memutuskan untuk membuat pakta persaudaraan (al-muâkhah) yang resmi di antara mereka. Hal ini berarti bahwa setiap Muhajir terikat oleh perjanjian dengan seorang Anshar, yang akan membantunya tinggal menetap, berbagi kepemilikan dengannya, dan menciptakan lingkungan hidup yang terbaik baginya di Madinah. Pada tingkat yang lebih luas, hubungan mereka didasarkan pada persaudaraan, saling berbagi, dan saling membantu secara spiritual (para pengungsi muslim dari Mekah akan mengajarkan saudara mereka di Madinah berbagai hal yang telah mereka ketahui). Pakta ini bertujuan memberikan landasan kekuatan dan persatuan bagi komunitas muslim baru yang mukim di Madinah. Hubungan yang sangat erat segera tercipta di antara orang beriman yang belakangan diuji untuk membuktikan intensitas kecintaan mereka kepada Tuhan. Dalam sebuah hadis qudsi, Nabi melukiskan bentuk cinta ini sebagai puncak keindahan persaudaraan dalam iman, dan para sahabat berupaya mencapainya dalam kehidupan dan komitmen keseharian mereka: “Pada hari kiamat, Tuhan akan berkata, ‘Di manakah mereka yang saling mencintai demi keagungan-Ku? Hari ini, Aku akan memayungi mereka dengan payung-Ku, di hari ketika tidak ada yang memayungi selain payung-Ku.’”

Cara orang Islam menangani berbagai situasi berat, menyakitkan, dan berbahaya menunjukkan bahwa mereka telah mencapai derajat persaudaraan dan kepercayaan yang tidak akan tergoyahkan oleh situasi apa pun. Ikatan itu membentuk kekuatan sosial dan spiritual masyarakat muslim, dan di sinilah letak rahasia kesuksesan mereka di hadapan Tuhan dan di antara manusia: keimanan kepada Tuhan, kecintaan kepada orangtua, persaudaraan antarsesama, dan etika dalam melayani alam dan manusia.

Azan
Dengan berlalunya bulan, praktik ritual terbentuk secara bertahap: puasa di bulan Ramadan dan kewajiban zakat yang makin jelas dan teperinci diwajibkan setelah tambahkan ke dalam syahadat dan salat. Orang-orang Islam bertemu di masjid pada waktu yang sama dan melakukan salat berjamaah.
Nabi sedang memikirkan cara untuk memanggil orang Islam untuk salat. Beliau telah mempertimbangkan kemungkinan meniru cara orang Yahudi dan Kristen, yaitu dengan bel atau tanduk hewan. Namun, suatu hari Abdullah ibn Zayd, seorang Anshar yang ambil bagian dalam perjanjian Aqabah kedua, datang kepadanya dan menceritakan mimpinya. Dalam mimpinya, seorang laki-laki mengajarinya cara memanggil orang untuk salat. Nabi mendengarkannya dan segera mengetahui bahwa mimpinya benar. Beliau menyuruh Bilal, seorang bekas budak bersuara amat merdu, untuk berdiri di puncak rumah tertinggi dekat masjid dan memanggil orang untuk salat.
Panggilan yang sama dan tidak pernah berubah ini menegaskan keagungan Tuhan (“Allâhu Akbar”), syahadat (“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”), dan ajakan untuk salat dan untuk memperoleh kesuksesan di dunia dan di akhirat kelak, selama hampir lima belas abad telah menggema di seluruh penjuru kota Islam. Dengan semua perbedaan intonasi, ritme, dan suaranya, panggilan ini, dalam keseluruhan iramanya, mengungkap perpaduan antara iman dan keindahan, antara spiritualitas dan estetika—seperti yang diharapkan Nabi ketika beliau memilih Bilal untuk menjadi muazin. Azan merupakan pengingat akan Tuhan Yang Maha Esa yang mencintai keindahan, dan yang lima kali sehari menyambut mereka yang menjawab panggilan indah untuk bertemu Yang Mahaindah (al-Jamîl). []

* Tariq Ramadan adalah cucu Hasan Al-Banna, penulis Muhammad: Rasul Zaman Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.